Hell-o!

Selasa, 22 November 2016

NASKAH DRAMA BATANG TUAKA
1.      Tuaka               :    Hilham Yatriendi
2.      Ibu                    :    Sri Mulyani
3.      Istri                   :    Michelle
4.      Saudagar          :    Novinsky Anatasya
5.      Anak Kapal      :    M. Rexy Dimas N.
6.      Narator            :    Dini Adhania
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari, Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.  
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang.
·         Ibu                         :    (membacakan syair ibarat)      
·         Tuaka                    :    “Alangkah merdunya suara emak. Kalau ananda boleh tau, apa
                                    gerangan judul dari syair itu, Mak?”
·         Ibu                         :    “Itu Syair Ibarat Khabar Kiamat dari daerah kita ni, Indragiri. Syair
                                    tu adalah buah karya dari KH Abdurrahman Siddiq.”
·         Tuaka                    :    “Suatu saat, ajari ananda tentang syair tersebut ya, Mak.”
·         Ibu                         :    “Bagus jika kamu punya niatan untuk mempelajari budaya kita
                                    tu. Nanti Mak bantu.”
·         Tuaka                    :    “Iyelah, Mak. Kalau bukan saya, salah satu pemuda daerah ni,
                                    siapa lagi yang akan menumbuhkembangkan budaya kita ni, Mak.”
·         Ibu                         :    “Iyelah tu. Dah siap mengmpulkan kayu ni?”
·         Tuaka                    :    “Sudah, Mak.”
·         Ibu                         :    “Kalau sudah, sekarang kita kembali ke rumah.”
·         Tuaka                    :    “Iya, Mak.”





Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. Ternyata, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda.
·         Tuaka                    :    “Mak! Suara apa itu?”
·         Ibu                         :    “Nampaknya suara ular berdesis.”
·         Ibu                         :    “Tuaka, sembunyilah. Ternyata disana ada ular besar yang sedang
                                    berkelahi,”
Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit.
·         Tuaka                    :    “Apa yang mereka perebutkan, Mak?”
·         Ibu                         :    “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui
                                    keberadaan kita,”
Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya.
·         Tuaka                    :    “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,”
·         Ibu                         :    “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah,”
·         Tuaka                    :    “Iya, Mak.”
Tuaka memasukkan ular itu ke dalam karung yang dibawa emaknya, lalu membawanya pulang.
Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuaka membersihkan luka dan menjaga keadaan ular tersebut.
·         Ibu                         :    “Ini Mak sudah menumbuk daun-daunan untuk mengobati ular
                                    ini,”
·         Tuaka                    :    “Biar Tuaka yang membubuhkan obat untuk ular ini mak,”
·         Ibu                         :    “Semoga saja ular ini cepat pulih,”
·         Tuaka                    :    “Iya, Mak.”



Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran.
·         Tuaka                    :    “Mak.. Mak..” (memamnggil-manggil Emak)
·         Ibu                         :    “Iyaa, Tuaka. Ada apa?”
·         Tuaka                    :    “Mak, kemana pergi ular kemarin tu?”
·         Ibu                         :    “Apa dikeranjangnya tidak ada?”
·         Tuaka                    :    “Tak ada, Mak. Tampaknya dia sudah sembuh dan pergi. Tapi,
                                    mengapa dia tinggalkan permata indahnya ini ya, Mak?”
·         Ibu                         :    “Ah, iya. Permatanya tidak dibawa.”
·         Ibu                         :    “Barangkali dia ingin berterimakasih kepada kita karena kita
                                    sudah menolongnya. “
·         Tuaka                    :    “Jadi, bagaimana dengan permata ini, Mak?”
·         Ibu                         :    “Sebaiknya permata ini kita jual kepada saudagar. Agar uangnya bisa kita gunakan untuk berjualan, dan kita tidak akan hidup miskin lagi.”
·         Tuaka                    :    “Baiklah kalau begitu, Mak. Besok pagi, Tuaka akan pergi ke
                                          Bandar untuk menawarkan permata indah ini kepada saudagar
                                          disana.”

Keesokan harinya, pergilah Tuaka ke Bandar. Sesampai disana, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang permata itu kepada emaknya.

·         Tuaka                    :    “Kemana lagi aku harus menawarkan permata ini. Tidak ada
                                    satupun saudagar yang berani membeli permata ini dengan harga
                                    tinggi.”

Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan.

·         Tuaka                    :    “Permisi, Makcik.”
·         Saudagar               :    “Ya, ada apa gerangan?”
·         Tuaka                    :    “Saya datang kesini, hendak menawarkan sebuah permata indah
                                    Kepada Makcik. Barangkali Tuan berminat, silahkan dilihat
                                    Permata saya ini.”
·         Saudagar               :    “Elok sekali permata ini. Aku sangat ingin memilikinya.”
·         Tuaka                    :    “Kalau begitu, apalagi yang Nyonya tunggu? Nyonya hanya tinggal
                                    membayarnya,”
·         Saudagar               :    “Tapi, apa permata ini asli?”
·         Tuaka                    :    “Tentu saja, Makcik. Silahkan Makcik periksa sendiri.”
·         Saudagar               :    “Iyelah ni. Tapi uang yang aku bawa sekarang tidak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut saya ke Temasik untuk mengambil kekurangannya.”
·         Tuaka                    :    (Termenung sejenak)
·         Saudagar               :    “Jangan terlalu lama berfikir. Bagaimana, Nak?”
·         Tuaka                    :    “Baiklah, Nyonya. Saya akan ikut Nyonya untuk pergi ke Temasik.”
·         Saudagar               :    “Baiklah. Kalau begitu sekarang ananda ikut saya untuk mempersiapkan pelayaran ke Temasik.”

Setelah persiapan selesai, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya.

·         Tuaka                    :    “Begitulah ceritanya, Mak. Bagaimana menurut Emak?”
·         Ibu                         :    “Apa kamu yakin akan berlayar ke negeri orang tu?”
·         Tuaka                    :    “Tuaka yakin sekali, Mak. Mak setuju kan?”
·         Ibu                         :    “Mak takpapa, Nak. Ini pasti yang terbaik untuk kehidupan kita
                                    selanjutnya,”
·         Tuaka                    :    “Terima kasih banyak, Mak. Mohon doa restu dalam perjalanan Tuaka ini, Mak.”
·         Ibu                         :    “Sudah pasti, Ananda. Doa dan restu Mak selalu mendampingimu.”
Akhirnya, Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti.
Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada Emak dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.



Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di sebuah daerah yang ternyata adalah kampung halaman Tuaka. Dan sebenarnya, Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya itu.
·         Istri                        :    “Indah nian pemandangan laut ni ya Kakanda,”
·         Tuaka                    :    “Ya, benar sekali Adinda. Kita sangat membutuhkan liburan
                                    seperti ini. Menyegarkan pikiran dari kesibukan di Temasik yang
                                           sangat memusingkan kepalaku,”
·         Istri                        :    “Wahai Nakhoda. Dimanakah gerangan kapal ini akan
                                      berlabuh?”
·         Nakhoda               :    “Sebentar lagi kita akan berlabuh disebuah kampong disekitar
                                    sini, Makcik.”
·         Istri                        :    “Apa gerangan nama daerah tu, Nakhoda?”
·         Nakhoda               :    “Disinilah kita sudah Makcik. Saya ucapkan selamat datang di Indragiri. Kampong dengan alam yang belimpah.”
·         Istri                        :    “Belimpah? Memangnya apa yang menjadi potensi terbesar daerah ni, Nakhoda?”
·         Nakhoda               :    “Daerah ni punya kebon kelapa yang sangat luas membentang. Inilah yang menjadi penghasilan masyarakat dikampong ni, Makcik.”
·         Tuaka                    :    “Sudah, sudahlah tu. Nakhoda, cepat labuhkan kapal ni.”
·         Nakhoda               :    “Baik, Tuanku.”
Tapi ternyata, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin.
·         Tuaka                    :    (Termenung)
·         Istri                        :    “Wahai Kakanda. Mengapa gerangan engkau termenung diatas
                                    lautan seperti ini?”
·         Tuaka                    :    “Tidak ada apa-apa wahai Adinda.”
·         Istri                        :    “Ceritakan saja padaku, Kakanda.”
·         Tuaka                    :    “Tidak ada apa-apa Adinda, jangan mengkhawatirkanku.”
Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, emak Tuaka pun berlari mendekati kapal megah Tuaka.
·         Ibu                         :    “Tuaka! Tuaka! Wahai ananda, Ibu sangat merindukanmu!”
·         Istri                        :    “Wahai Tuaka! Siapa gerangan wanita tua itu? Mengapa dia
                                    menyebut Kakanda sebagai anaknya?”
·         Ibu                         :    (berteriak-teriak memanggil Tuaka)
Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya.
·         Tuaka                    :    “Aku tidak mengenalnya!”
·         Istri                        :    “Tapi mengapa dia..” (terputus)
·         Tuaka                    :    “Sudah ku katakan aku tidak mengenalnya!”
·         Istri                        :    “Tapi kakanda..”
·         Tuaka                    :    “Sudah, jangan percaya padanya! Dia hanya seperti orang miskin lainnya yang memelas meminta dikasihani!”
·         Istri                        :    “Apa itu benar?”
·         Tuaka                    :    “Tentu saja. Percaya padaku!”
·         Tuaka                    :    “Pergi kau wahai wanita miskin!”
·         Ibu                         :    (menangis sesenggukan memanggil Tuaka)
·         Istri                        :    “Kalau begitu, hei kau orang tua! Jauhi kapal kami! Kami tidak sudi tubuhmu itu mengotori kapal ini!”
·         Tuaka                    :    “Pergi!”
Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia meratapi anaknya yang durhaka.
·         Ibu                         :    “Ya Allah. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka
                                    kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya!”



Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya.
Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi “batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang Tuaka”. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.
Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.


1 komentar:

  1. Slot Machine & Casino - DrmCD
    Slot Machines. Slot machines 양산 출장마사지 are 순천 출장샵 one of the most popular ways to 대구광역 출장마사지 place your bet and you're sure to 속초 출장안마 see a video of this casino. If you're new to 군산 출장마사지

    BalasHapus