NASKAH DRAMA
BATANG TUAKA
1. Tuaka : Hilham
Yatriendi
2. Ibu : Sri Mulyani
3. Istri : Michelle
4. Saudagar : Novinsky
Anatasya
5. Anak Kapal : M.
Rexy Dimas N.
6. Narator : Dini
Adhania
Alkisah, pada zaman
dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua
bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk
yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri
Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup
miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari, Tuaka membantu
emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal
mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus
bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.
Suatu hari, Tuaka
bersama emaknya pergi ke hutan di sekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk
dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak,
mereka berdua akhirnya pulang.
·
Ibu : (membacakan syair ibarat)
·
Tuaka : “Alangkah merdunya suara emak. Kalau ananda
boleh tau, apa
gerangan
judul dari syair itu, Mak?”
·
Ibu : “Itu Syair Ibarat Khabar Kiamat dari daerah
kita ni, Indragiri. Syair
tu
adalah buah karya dari KH Abdurrahman Siddiq.”
·
Tuaka : “Suatu saat, ajari ananda tentang syair
tersebut ya, Mak.”
·
Ibu : “Bagus jika kamu punya niatan untuk
mempelajari budaya kita
tu.
Nanti Mak bantu.”
·
Tuaka : “Iyelah, Mak. Kalau bukan saya, salah satu
pemuda daerah ni,
siapa
lagi yang akan menumbuhkembangkan budaya kita ni, Mak.”
·
Ibu : “Iyelah tu. Dah siap mengmpulkan kayu ni?”
·
Tuaka : “Sudah, Mak.”
·
Ibu : “Kalau sudah, sekarang kita kembali ke
rumah.”
·
Tuaka : “Iya, Mak.”
Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan
oleh suara desisan yang cukup keras. Ternyata, tak jauh dari mereka, dari arah
tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka
sedang memperebutkan sebuah benda.
·
Tuaka : “Mak! Suara apa itu?”
·
Ibu : “Nampaknya suara ular berdesis.”
·
Ibu : “Tuaka, sembunyilah.
Ternyata disana ada ular besar yang sedang
berkelahi,”
Tuaka dan
emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik
pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling
bergumul dan belit-membelit.
·
Tuaka : “Apa yang mereka perebutkan, Mak?”
·
Ibu : “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti
mereka mengetahui
keberadaan
kita,”
Tak lama
kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya
keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati
salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka
itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata
(kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya.
·
Tuaka : “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,”
·
Ibu : “Ya, mari kita bawa
pulang, supaya kita bisa obati di rumah,”
·
Tuaka : “Iya, Mak.”
Tuaka memasukkan ular itu ke dalam karung yang dibawa
emaknya, lalu membawanya pulang.
Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan
yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular
itu, sedangkan Tuaka membersihkan luka dan menjaga keadaan ular tersebut.
·
Ibu : “Ini Mak sudah menumbuk daun-daunan untuk mengobati
ular
ini,”
·
Tuaka : “Biar Tuaka yang membubuhkan obat untuk ular
ini mak,”
·
Ibu : “Semoga saja ular ini cepat pulih,”
·
Tuaka : “Iya, Mak.”
Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang
dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya
ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran.
·
Tuaka : “Mak.. Mak..” (memamnggil-manggil Emak)
·
Ibu : “Iyaa, Tuaka. Ada apa?”
·
Tuaka : “Mak, kemana pergi ular kemarin tu?”
·
Ibu : “Apa dikeranjangnya tidak ada?”
·
Tuaka : “Tak ada, Mak. Tampaknya dia sudah sembuh
dan pergi. Tapi,
mengapa
dia tinggalkan permata indahnya ini ya, Mak?”
·
Ibu : “Ah, iya. Permatanya tidak dibawa.”
·
Ibu : “Barangkali dia ingin berterimakasih kepada
kita karena kita
sudah
menolongnya. “
·
Tuaka : “Jadi, bagaimana dengan permata ini, Mak?”
·
Ibu : “Sebaiknya permata ini kita jual kepada saudagar.
Agar uangnya bisa kita gunakan untuk berjualan, dan kita tidak akan hidup
miskin lagi.”
·
Tuaka : “Baiklah kalau begitu, Mak. Besok pagi,
Tuaka akan pergi ke
Bandar
untuk menawarkan permata indah ini kepada saudagar
disana.”
Keesokan harinya, pergilah Tuaka ke Bandar. Sesampai disana, Tuaka
berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya
dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan,
namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat
membawa pulang permata itu kepada emaknya.
·
Tuaka : “Kemana lagi aku harus menawarkan permata
ini. Tidak ada
satupun
saudagar yang berani membeli permata ini dengan harga
tinggi.”
Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar
yang sepertinya belum ia tawarkan.
·
Tuaka : “Permisi, Makcik.”
·
Saudagar : “Ya, ada apa gerangan?”
·
Tuaka : “Saya datang kesini, hendak menawarkan sebuah
permata indah
Kepada
Makcik. Barangkali Tuan berminat, silahkan dilihat
Permata
saya ini.”
·
Saudagar : “Elok sekali permata ini. Aku sangat ingin
memilikinya.”
·
Tuaka : “Kalau begitu, apalagi yang Nyonya tunggu?
Nyonya hanya tinggal
membayarnya,”
·
Saudagar : “Tapi, apa permata ini asli?”
·
Tuaka : “Tentu saja, Makcik. Silahkan Makcik periksa
sendiri.”
·
Saudagar : “Iyelah ni. Tapi uang yang aku bawa sekarang
tidak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut saya ke Temasik untuk
mengambil kekurangannya.”
·
Tuaka : (Termenung sejenak)
·
Saudagar : “Jangan terlalu lama berfikir. Bagaimana,
Nak?”
·
Tuaka : “Baiklah, Nyonya. Saya akan ikut Nyonya
untuk pergi ke Temasik.”
·
Saudagar : “Baiklah. Kalau begitu sekarang ananda ikut
saya untuk mempersiapkan pelayaran ke Temasik.”
Setelah
persiapan selesai, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini pada
emaknya.
·
Tuaka : “Begitulah ceritanya, Mak. Bagaimana menurut
Emak?”
·
Ibu : “Apa kamu yakin akan berlayar ke negeri
orang tu?”
·
Tuaka : “Tuaka yakin sekali, Mak. Mak setuju kan?”
·
Ibu : “Mak takpapa, Nak. Ini pasti yang terbaik
untuk kehidupan kita
selanjutnya,”
·
Tuaka : “Terima kasih banyak, Mak. Mohon doa restu
dalam perjalanan Tuaka ini, Mak.”
·
Ibu : “Sudah pasti, Ananda. Doa dan restu Mak
selalu mendampingimu.”
Akhirnya,
Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang perjalanan,
Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya
nanti.
Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian
permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada
Emak dan kampung halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar
kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah
megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan.
Dia tak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah
tidak.
Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka
berlabuh di sebuah daerah yang ternyata adalah kampung halaman Tuaka. Dan sebenarnya,
Tuaka masih ingat dengan kampung halamannya itu.
·
Istri : “Indah nian pemandangan laut ni ya Kakanda,”
·
Tuaka : “Ya, benar sekali Adinda. Kita sangat membutuhkan liburan
seperti
ini. Menyegarkan pikiran dari kesibukan di Temasik yang
sangat
memusingkan kepalaku,”
·
Istri : “Wahai Nakhoda. Dimanakah gerangan kapal ini akan
berlabuh?”
·
Nakhoda : “Sebentar
lagi kita akan berlabuh disebuah kampong disekitar
sini,
Makcik.”
·
Istri : “Apa gerangan nama daerah tu, Nakhoda?”
·
Nakhoda : “Disinilah
kita sudah Makcik. Saya ucapkan selamat datang di Indragiri. Kampong dengan
alam yang belimpah.”
·
Istri : “Belimpah? Memangnya apa yang menjadi potensi terbesar daerah ni,
Nakhoda?”
·
Nakhoda : “Daerah
ni punya kebon kelapa yang sangat luas membentang. Inilah yang menjadi
penghasilan masyarakat dikampong ni, Makcik.”
·
Tuaka : “Sudah, sudahlah tu. Nakhoda, cepat labuhkan kapal ni.”
·
Nakhoda : “Baik,
Tuanku.”
Tapi ternyata, rupanya Tuaka enggan
menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut
emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa
dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta dan miskin.
·
Tuaka : (Termenung)
·
Istri : “Wahai Kakanda. Mengapa gerangan engkau
termenung diatas
lautan
seperti ini?”
·
Tuaka : “Tidak ada apa-apa wahai Adinda.”
·
Istri : “Ceritakan saja padaku, Kakanda.”
·
Tuaka : “Tidak ada apa-apa Adinda, jangan
mengkhawatirkanku.”
Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya
bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak
terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu
anaknya, emak Tuaka pun berlari mendekati kapal megah Tuaka.
·
Ibu : “Tuaka! Tuaka! Wahai ananda, Ibu sangat
merindukanmu!”
·
Istri : “Wahai Tuaka! Siapa gerangan wanita tua itu?
Mengapa dia
menyebut
Kakanda sebagai anaknya?”
·
Ibu : (berteriak-teriak memanggil Tuaka)
Tuaka terkejut bukan kepalang melihat emaknya
berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan
pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya.
Dia sangat malu pada istrinya.
·
Tuaka : “Aku tidak mengenalnya!”
·
Istri : “Tapi mengapa dia..” (terputus)
·
Tuaka : “Sudah ku katakan aku tidak mengenalnya!”
·
Istri : “Tapi kakanda..”
·
Tuaka : “Sudah, jangan percaya padanya! Dia hanya
seperti orang miskin lainnya yang memelas meminta dikasihani!”
·
Istri : “Apa itu benar?”
·
Tuaka : “Tentu saja. Percaya padaku!”
·
Tuaka : “Pergi kau wahai wanita miskin!”
·
Ibu : (menangis sesenggukan memanggil Tuaka)
·
Istri : “Kalau begitu, hei kau orang tua! Jauhi
kapal kami! Kami tidak sudi tubuhmu itu mengotori kapal ini!”
·
Tuaka : “Pergi!”
Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis
dia meratapi anaknya yang durhaka.
·
Ibu : “Ya Allah. Ampunilah dosa Tuaka karena telah
durhaka
kepadaku.
Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya!”
Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka
terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor
burung punai. Emak
Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung.
Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai
anaknya.
Burung
elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar
di atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes,
membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian
diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata
“sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi “batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka”
berubah menjadi “Batang Tuaka”. Sejak itu pula, daerah di sekitar muara sungai
tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang
Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.
Masyarakat
Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini
benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai
Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara
Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai
penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Slot Machine & Casino - DrmCD
BalasHapusSlot Machines. Slot machines 양산 출장마사지 are 순천 출장샵 one of the most popular ways to 대구광역 출장마사지 place your bet and you're sure to 속초 출장안마 see a video of this casino. If you're new to 군산 출장마사지